BAB
IV
Hakikat dan Model Desain Pembelajaran
Hakikat dan Model Desain Pembelajaran
A.
Deskripsi
Pada materi kali ini, mahasiswa
akan membahas tentang hakikat model desain pembelajaran. Definisi hakikat
desain pembelajaran dan model-model pembelajaran akan dijabarkan secara
mendetail, dimulai dari definisi desain pembelajaran dan penjelasan mengenai model-model
pembelajaran seperti model Barry Moris, model Kemp, model Banathy, model Dick and Carrey dan model PPSI (Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional). Setelah selesai mempelajari topik ini,
mahasiswa akan diberi rangkuman. Sebagai langkah akhir sebelum melanjutkan ke
materi selanjutnya, akan diberi tes umpan balik untuk memastikan bahwa
mahasiswa telah memahami materi dengan baik.
B.
Relevansi
Pemahaman konsep
dasar desain pembelajaran dan model-model pembelajaran sangat penting
dan sangat berguna untuk melakukan perencanaan pembelajaran yang sesuai
dengan kurikulum di SMA/ SMK/
Sederajat. Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa
diharapkan mampu menyusun perencanaan pembelajaran Bahasa Prancis secara sempurna.
Pada bab ini mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan beberapa model
pembelajaran yang telah dipaparkan dan pada akhirnya mampu mengembangkannya.
Mahasiswa dapat menemukan refensi lain terkait desain model pembelajaran pada
buku Perencanaan Pembelajaran karya Hamzah B. Uno dan juga buku Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran karya Wina
Sanjaya.
C. Capaian
Pembelajaran Mata Kuliah
Setelah selesai mempelajari
topik ini mahasiswa diharapkan mampu untuk: (1) mendeskripsikan pengertian
desain pembelajaran; (2) menguraikan minimal 3 model desain pembelajaran.
D.
Uraian Materi
1. Definisi Desain Pembelajaran
Menurut
Dick and Carrey dalam Sanjaya (2015:65), desain sebagai proses pemecahan
masalah. Desain bertujuan untuk mencapai solusi terbaik dalam memecahkan
masalah dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang tersedia. Dapat dikatakan
bahwa suatu desain muncul karena kebutuhan manusia untuk memecahkan suatu
persoalan. Suatu desain pada dasarnya adalah suatu proses yang bersifat linear
yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan rancangan untuk
merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut diujicobakan dan
akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk menentukan hasil tentang efektivitas
rancangan (desain) yang disusun. Desain sebagai proses rangkaian kegiatan yang
bersifat linear tersebut digambarkan oleh Sambaugh (2006) seperti di bawah ini.
Menurut
Gentry dalam Sanjaya (2015:67), desain pembelajaran berkenaan dengan proses
menentukan tujuan pembelajaran, strategi dan teknik untuk mencapai tujuan serta
merancang media yang dapat digunakan untuk efektivitas pencapaian tujuan.
Selanjutnya ia menguraikan, penerapan suatu desain pembelajaran memerlukan
dukungan dari lembaga yang akan menerapkan, pengelolaan kegiatan, serta
pelaksanaan yang insentif berdasarkan analisis kebutuhan.
Dari
beberapa pengertian diatas, maka desain instruksional berkenaan dengan proses
pembelajaran yang dapat dilakukan siswa untuk mempelajari suatu materi
pelajaran yang di dalamnya mencakup rumusan tujuan yang harus dicapai atau
hasil belajar yang diharapkan, rumusan strategi yang dapat dilaksanakan untuk
mencapai tujuan termasuk metode, teknik dan media yang dapat dimanfaatkan serta
teknik evaluasi untuk mengukur atau menentukan keberhasilan pencapaian tujuan.
Mendesain pembelajaran harus diawali dengan studi kebutuhan (need assessmet), sebab berkenaan dengan
upaya untuk memecahkan persoalan yang berkaitan dengan proses pembelajaran
siswa dalam mempelajari suatu bahan atau materi pembelajaran.
1.
Hubungan
Perencanaan dan Desain Pembelajaran
Dapat dikatakan Perencanaan
pembelajaran (Lesson Plans) berbeda
dengan Desain Pembelajaran (Instructional
Design), namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat sebagai program
pembelajaran. Perencanaan pembelajaran disusun untuk kebutuhan guru dalam
melaksanakan tugas mengajarnya. Dengan demikian, perencanaan merupakan kegiatan
menerjemahkan kurikulum sekolah kedalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas,
(Shambaugh dan Magliaro, 2006). Perencanaan program pembelajaran dapat berupa
perencanaan untuk kegiatan sehari-hari, kegiatan mingguan, bahkan rancangan
untuk kegiatan tahunan sesuai dengan tujuan kurikulum yang hendak dicapai.
Dengan demikian isinya bisa terdiri dari tujuan khusus yang spesifik, produser
kegiatan belajar mengajar, materi pelajaran, waktu yang diperlukan sampai pada
bentuk evaluasi yang akan digunakan.
Pertimbangan
dalam menyusun dan mengembangkan sebuah perencanaan pembelajaran adalah
kurikulum yang berlaku di suatu lembaga; sedangkan pertimbangan dalam menyusun
dan mengembangkan suatu desain pembelajaran adalah siswa itu sendiri sebagai
individu yang akan belajar dan mempelajari bahan pelajaran. Artinya ketika kita
akan menyusun dan mengembangkan suatu desain perencanaan, maka kita perlu
bertanya terlebih dahulu bagaimana desain kurikulum yang ada di lembaga
pendidikan; sedangkan kalau kita akan menyusun dan mengembangkan sebuah desain
pembelajaran kita perlu bertanya bagaimana agar siswa dapat mempelajari suatu
bahan pelajaran dengan mudah.
3.
Model-model Desain Intruksional
Pada awal pertemuan telah dijelaskan
dan diketahui bahwa desain perencanaan pembelajaran berbeda dengan perencanaan
sistem pembelajaran. Meskipun perencanaan pembelajaran memiliki keterkaitan
dengan desain pembelajaran, namun keduanya tersebut memiliki tingkatan yang
berbeda. Perencanaan lebih ditekankan kepada proses pengembangan suatu
kurikulum sekolah, sedangkan desain menekankan pada proses merancang program
pembelajaran untuk membantu proses belajar siswa, seperti yang dikemukakan Zook
dalam (Sanjaya :2008) bahwa desain intruksional adalah a systematic thinking process to help learning learn.
Beberapa model desain pembelajaran
yang dikembangkan oleh para ahli. Di bawah ini disajikan beberapa di antaranya:
a.
Model Barry Moris
Menurut Rusman (2011) pembelajaran pada hakikatnya
merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan siswa, baik interaksi
secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu
dengan menggunakan berbagai pola pembelajaran. Barry
Moris (dalam Rusman, 2011:134) mengklasifikasikan empat pola pembelajaran,
antara lain sebagai berikut:
1.
Pola pembelajaran guru dengan siswa tanpa
menggunakan alat bantu/bahan pembelajaran dalam bentuk alat peraga. Pola
pembelajaran ini tergantung pada kemampuan guru dalam mengingat bahan
pembelajaran dan menyampaikan bahan tersebut secara lisan kepada siswa.
2.
Pola (guru + alat bantu) dengan siswa.
Pada pola pembelajaran ini guru sudah dibantu oleh berbagai bahan pembelajaran
yang disebut alat peraga pembelajaran dalam menjelaskan dan meragakan suatu
pesan yang bersifat abstrak.
3.
Pola (guru) + (media) dengan siswa. Pola
pembelajaran ini sudah mempertimbangkan keterbatasan guru yang tidak mungkin
menjadi satu – satunya sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat
memanfaatkan berbagai media pembelajaran sebagai sumber belajar yang dapat
menggantikan guru dalam pembelajaran, jadi siswa dapat memperoleh informasi
dari berbagai media sebagai sumber belajar, misalnya dari majalah, modul,
siaran radio pembelajaran, televisi pembelajaran, media komputer dan internet.
Pola ini merupakan pola pembelajaran bergantian antara guru dan media dalam
berinteraksi dengan siswa.
4.
Pola pembelajaran media dengan siswa atau
pola pembelajaran jarak jauh menggunakan media atau bahan pembelajaran yang
disiapkan, dalam pola ini, siswa belajar dengan media, tanpa campur tangan
guru, artinya, guru hanya sebagai fasilitator yang menyiapkan bahan atau materi
pembelajaran saja yang kemudian bahan tersebut diaplikasikan pada media sebagai
sumber belajar siswa yang utama.
Jadi, pembelajaran merupakan sebuah proses untuk mencapai
perubahan tingkah laku yang lebih baik seperti perubahan kognitif, perubahan
afektif, dan perubahan psikomotorik. Dengan demikian, perencanaan pembelajaran
adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran
untuk mencapai satu kompetensi.
a.
Model
Kemp
Model
desain yang dikembangkan Kemp, seperti
tampak pada Gambar 4.4 berikut ini:
Model
desain sistem instruksional yang dikembangkan oleh Kemp merupakan model yang
membentuk siklus. Menurut Kemp dalam (Sanjaya:2008) pengembagan desain sisem
pembelajaran terdiri atas komponen-komponen, yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan, tujuan dan berbagai kendala yang timbul.
Model
sistem instruksional yang dikembangkan Kemp ini tidak ditentukan dari komponen
mana seharusnya guru memulai proses pengembangan. Mengembangkan sistem
instruksional, menurut Kemp dari mana saja bisa, asal saja urutan komponen
tidak diubah, dan setiap komponen itu memerlukan revisi untuk mencapai hasil
yang maksimal. Oleh karna itu model Kemp, dilihat dari kerangka sistem.
Komponen-komponen
dalam suatu dsain instruksional menurut Kemp adalah :
a. Hasil
yang ingin dicapai
b. Analisis
tes nata pelajaran
c. Tujuan
khusus belajar
d. Aktivitas
belajar
e. Sumber
belajar
f. Layanan
pendukung
g. Evaluasi
belajar
h. Tes
awal
i.
Karakteristik belajar
Kesembilan
komponen itu merupakan suatu siklus yang terus-menerus direvisi setelah
dievaluasi baik evaluasi sumatif maupun formatif dan diarahkan untuk menentukan
kebutuhan siswa, tujuan yang ingin dicapai, prioritas, dan berbagai kendala
yang muncul.
a.
Model
Banathy
Model
ini memiliki pandangan bahwa penyusunan sistem instruksional dilakukan melalui
tahapan-tahapan yang jelas. Terdapat enam tahapan dalam mendesain suatu program
pembelajaran yakni:
a. Menganalisis
dan merumuskan tujuan, baik tujuan pengembangan sistem maupun tujuan spesifik.
Tujuan merupakan sasaran dan arah yang harus di capai oleh siswa atau peserta
didik.
b. Merumuskan
kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yan hendak dicapai. Item tes dalam tahap
ini merumuskan untuk menilai perumusan tujuan. Melalui rumusan tes dapat
meyakinkan kita bahwa setiap tujuan ada alat untuk menilai keberhasilannya.
c. Menganalisis
dan merumuskan kegiatan belajar, yakni kegiatan menginvetarisasi seluruh
kegiatan belajar mengajar, menilai kemampuan penerapan nya sesuai dengan
kondisi yang ada serta menentukan kegiatan yang memungkinkan dapat diterapkan.
d. Meracang
sistem, yaitu kegiatan menganalisis setiap komponen sistem mendistribusikan dan
mengatur penjadwalan.
e. Menginplementasikan
dan melakukan control kualitas sistem, yakni melatih sekaligus menilai
efektifitas sistem, melakukan penempatan dan melaksankan evaluasi.
f. Mengadakan
perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi.
Gambar 4.5 Tahapan
dalam mendesain suatu program pembelajaran
a.
Model
Dick and Carrey
Seperti desain model Banathy, dalam
mendesain pembelajaran model Dick and Carrey harus dimulai dengan
mengidentifikasi tujuan pembelajaran umum. Menurut model ini, sebelum desainer
merumuskan tujuan khusus yakni performance goals, perlu menganalisis pembelajaran
serta menentukan kemampuan awal siswa terlebih dahulu. Rumusan kemampuan khusus harus
berpijak dari kemampuan dasar atau kemampuan awal. Manakala telah dirumuskan
tujuan khusus yang harus dicapai selanjutnya dirumuskan tes dalam bentuk
criterion reference test, artinya tes yang mengukur kemampuan penguasaan tujuan
khusus. Untuk mencapai tujuan khusus selanjutnya dikembangkan strategi
pembelajaran, yakni scenario pelaksaan pembelajaran yang diharapkan dapat
mencapai tujuan secara optimal, setelah itu dikembangkan bahan-bahan
pemebelajaran yang sesuai dengan tujuan.langkah akhir dari desain adalah
melakukan evaluasi sumatife. Evaluasi formatife berfungsi untuk menilai
efektivitas program dan evaluasi sumatife berfungsi untuk menentukan kedudukan
setiap siswadalam penguasaan materi pelajaran. Berdasarkan
hasil evaluasi inilah selanjutnya dilakukan umpan balik dalam merevisi program
pembelajaran. Model desain pembelajaran yang dikembangkan oleh Dick and Carrey
digambarkan dalam gambar 4.6 pada halaman
berikut ini.
Gambar 4.6 Model desain pembelajaran Dick and Carrey
Sebagai seorang tenaga pengajar (guru), aktivitas kegiatannya tidak dapat
dilepaskan dengan proses pengajaran. Sementara proses pengajaran merupakan
suatu proses yang sistematis, yang tiap komponennya sangat menentukan
keberhasilan belajar anak didik. Sebagai suatu sistem, proses belajar itu
saling berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya
(Munadir dalam Uno, 2012:22).
Menurut Modoffir dalam Uno (2012:22), sistem dapat diartikan sebagai suatu
kesatuan unsur-unsur yang saling berintegrasi dan berinteraksi secara
fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran. Adapun ciri-cirinya adalah:
(a) ada tujuan yang ingin dicapai; (b)
ada fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan; (c) ada komponen yang melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut;(d) ada interaksi antarkomponen; (e) ada penggabungan
yang menimbulkan jalinan keterpaduan; (f) ada proses transformasi; (g) ada
proses balikan untuk perbaikan; dan (h) ada daerah batasan dan lingkungan.
Lebih jauh Atwi Suparman dalam Uno (2012:22) memberikan makna terhadap sistem
yang berarti benda, peristiwa, kejadian atau cara yang terorganisasi yang
terdiri atas bagian-bagian yang lebih kecil dan seluruh bagian secara
bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan tertentu.
Demikian pula halnya sistem pengajaran pada mata pelajaran tertentu, di
mana tujuan sistem di sini adalah untuk menimbulkan belajar (learning) yang komponen-komponen
belajarnya, yakni anak didik (siswa), pendidik, instruktur, guru, materi
pengajaran, dan lingkungan pengajaran.
Agar proses pengajaran mata pelajaran tertentu dapat terlaksana dengan
baik, salah satu yang perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas tenaga
pengajarnya. Dengan perbaikan ini, para guru paling tidak dapat mengorganisir
pengajaran dengan jalan menggunakan teori-teori belajar serta desain pengajaran
yang dapat menimbulkan minat dan memotivasi anak didik (siswa) dalam belajar
mata kuliah tersebut.
Berbagai
model dapat dikembangkan dalam mengorganisir pengajaran. Satu diantara model
itu adalah model Dick and Carrey (1985) dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
tujuan umum pengajaran;
2. Melaksanakan
analisis pengajaran;
3. Mengidentifikasi
tingkah laku masukan dan karakteristik siswa;
4. Merumuskan
tujuan performansi;
5.
Mengembangkan
butir-butir tes acuan patokan;
6. Mengembangkan
strategi pengajaran;
7. Mengembangkan
dan memilih material pengajaran;
8.
Mendesain dan
melaksanakan evaluasi formatif;
9. Merevisi
bahan pembelajaran;
10. Mendesain
dan melaksanakan evaluasi sumatif;
Visualisasi langkah diatas dapat dilihat pada Gambar.
Gambar 4.7 Langkah-langkah
Pengajaran Model
Dick and Carrey
Tidak
ada suatu model rancangan pengajaran yang dapat memberikan resep yang paling
ampuh untuk mengembangkan suatu program pengajaran, karena itu untuk menentukan
model rancangan dalam mengembangkan suatu program pengajaran tergantung pada
pertimbangan si perancang tersebut terhadap model yang akan digunakannya atau
dipilihnya. Dari sekian banyak model untuk mengembangkan program pengajaran
yang telah dikenal, misalnya model Kemp (1977), model Dick and Carrey (1985),
model Briggs (1977), model Gagne, dkk. (1988), model IDI (1971), model Degeng
(1990), dan masih banyak lagi model lain yang pada dasarnya mempunyai ciri-ciri
yang sama. Perbedaan hanya terletak pada bagian-bagian tertentu saja, yang
dimodifikasi oleh penyusun model tersebut sesuai dengan keperluan si penyusun
model. Demikian juga halnya dengan desain pembelajaran mata pelajaran tertentu
ini, di mana model desain yang digunakan misalnya model Dick and Carrey, tentu
perancang desainnya memiliki alasan tersendiri. Secara umum penggunaan Desain
Pengajaran menurut Dick and Carrey adalah sebagai berikut.
1. Model
Dick and Carrey terdiri atas 10 langkah di mana setiap langkah sangat jelas
maksud dan tujuannya, sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar
untuk mempelajari model desain yang lain.
2. Kesepuluh
langkah pada model Dick and Carrey menunjukkan hubungan yang sangat jelas, dan
tidak terputus antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya. Dengan
kata lain, sistem yang terdapat pada Dick and Carrey sangat ringkas, namun
isinya padat dan jelas dari satu urutan ke urutan berikutnya.
3. Langkah
awal pada model Dick and Carrey adalah mengidentifikasi tujuan pengajaran.
Langkah ini sangat sesuai dengan kurikulum perguruan tinggi maupun sekolah
menengah dan sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran tertentu di mana
tujuan pengajaran pada kurikulum agar dapat melahirkan suatu rancangan
pembelajaran.
Penggunaan
model Dick and Carrey dalam pengembangan suatu mata pelajaran dimaksudkan agar
(1) pada awal proses pembelajaran anak didik atau siswa dapat mengetahui dan
mampu melakukan hal-hal yang berkaitan dengan materi pada akhir pengajaran, (2)
adanya pertautan antara tiap komponen khususnya antara strategi pengajaran dan
hasil pengajaran yang dikehendaki, (3) menerapkan langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam melakukan perencanaan desain pembelajaran. Dari 10 langkah
model Dick and Carrey, ada delapan kotak yang berhubungan dan suatu garis utama
yang memperlihatkan balikan dari kotak terakhir ke kotak yang terdahulu.
Kotak-kotak itu mengacu ke perangkat-perangkat prosedur dan teknik yang dipakai
untuk merancang, memproduksi, menilai, dan merivisi pengajaran. Berikut ini
akan dijelaskan langkah demi langkah yang telah ditetapkan oleh Dick and
Carrey.
1.
Mengidentifikasi
Tujuan Umum Pembelajaran
Sebagaimana
kita ketahui bahwa sasaran akhir dari suatu program pembelajaran adalah
tercapainya tujuan umum pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, setiap
perancang harus mempertimbangkan secara mendalam tentang rumusan tujuan umum
pengajaran yang akan ditentukannya. Mempertimbangkan secara mendalam artinya,
untuk merumuskan tujuan umum pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik
bidang studi, karakteristik siswa, dan kondisi lapangan.
Dick
and Carrey (1985) menjelaskan bahwa tujuan pengajaran adalah untuk menentukan
apa yang dapat dilakukan oleh anak didik setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran. Di dalam buku Akta Mengajar V (Depdikbud, 1982) tujuan
pemebelajaran sangat penting dalam proses instruksional atau dalam setiap
kegiatan belajar mengajar, sebab tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara
spesifik dan jelas, akan memberikan keuntungan kepada:
a. Siswa
untuk dapat mengatur waktu, dan pemusatan perhatian pada tujuan yang ingin
dicapai;
b. Guru
untuk dapat mengatur kegiatan instruksionalnya, metodenya, dan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut;
c. Evaluator
untuk dapat menyusun tes sesuai dengan apa yang harus dicapai oleh anak didik.
Rumusan
tujuan umum pembelajaran menurut Dick and Carrey (1985) harus jelas dan dapat
diukur, berbentuk tingkah laku. Pandangan lain seperti (Uno Hamzah, 1993, juga
Miarso, 1984) mengemukakan rumusan pembelajaran yang baik adalah (a)
menggunakan istilah yang operasional, (b) berbentuk hasil belajar, (c)
berbentuk tingkah laku, (d) jelas hanya mengukur satu tingkah laku. Pendapat
lain dikemukakan Mudhofir (1990) rumusan tujuan pembelajaran yang baik.
Pendapat lain dikemukakan Mudhofir (1990) rumusan tujuan pembelajaran yang baik
(a) formulasi dalam bentuk yang operasional, (b) bentuk produk belajar, (c)
dalam tingkah laku si belajar, (d) jelas tingkah laku yang ingin dicapai, (e)
hanya mengandung satu tujuan belajar, (f) tingkat keluasan yang sesuai, (g)
rumusan kondisi pembelajaran jelas dan cantumkan standar tingkah laku yang
dapat diterima. Adapun (Degeng, 1989; juga Uno Hamzah, 1993) mengemukakan ada
tiga komponen utama dari suatu rumusan tujuan pembelajaran, yaitu perilaku, kondisi,
dan derajat kriteria keberhasilan. Instruksional Developement Institute (IDI)
menambahkan satu komponen yang perlu lagi dispesifikasi dalam rumusan tujuan,
yaitu sasaran (Audience). Selanjutnya
komponen-komponen ini oleh Degeng (1989), Uno Hamzah (1993) untuk lebih mudah
mengingatnya disebut dengan bantuan mnemonik ABCD (Audience, Behavioral, Conditions, dan Degree).
2.
Melakukan
Analisis Pembelajaran
Dengan
cara analisis pembelajaran ini akan diidentifkasi keterampilan-keterampilan
bawahan (subordinate skills). Jadi,
posisi analisis pembelajaran dalam keseluruhan desain pembelajaran merupakan
perilaku prasyarat, sebagai perilaku yang menurut urutan gerak fisik
berlangsung lebih dahulu, perilaku yang menurut proses psikologis muncul lebih
dahulu atau secara kronologis terjadi lebih awal, sehingga analisis ini
merupakan acuan dasar dalam melanjutkan langkah-langkah desain berikutnya.
Dick
and Carrey (1985) mengatakan bahwa tujuan pengajaran yang telah diidentifikasi
perlu dianalisis untuk mengenali keterampilan-keterampilan bawahan (subordinate skills) yang mengharuskan
anak didik belajar menguasainya dan langkah-langkah prosedural bawahan yang ada
harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu.
Gagne, Briggs, dan Wager (1988), tujuan analisis pengajaran adalah untuk
menentukan keterampilan-keterampilan yang akan dijangkau oleh tujuan
pembelajaran, serta memungkinkan untuk membuat keputusan yang diperlukan dalam
urutan mengajar. Adapun Suparman dalam Uno (2012:26), analisis instruksional
adalah proses menjabarkan perilaku umum menjadi perilaku khusus yang tersusun
secara logik dan sistematik. Dengan melakukan analisis pembelajaran
ini, akan tergambar susunan perilaku khusus yang paling awal sampai yang paling
akhir.
Untuk
menemukan keterampilan-keterampilan bawahan yang bersumber dari tujuan
pembelajaran, digunakan pendekatan hierarki. Mengapa harus menggunakan
pendekatan hierarki, karena anak didik dituntut harus mampu memecahkan masalah
atau melakukan kegiatan informasi yang tidak dijumpai sebelumnya, seperti
mengklasifikasi dengan ciri-cirinya, menerapkan dalil atau prinsip untuk
memecahkan masalah.
Menganalisis
subordinate skills sangatlah
diperluka, karena apabila keterampilan bawahan yang seharusnya dikuasai tidak
diajarkan, maka banyak anak didik tidak akan memiliki latar belakang diperlukan
untuk mencapai tujuan dengan demikian pembelajaran menjadi tidak efektif.
Sebaliknya, apabila keterampilan bawahan berlebihan, pembelajaran akan memakan
waktu lebih lama dari semestinya, dan keterampilan yang tidak perlu diajarkan
malah mengganggu anak didik dalam belajar menguasai keterampilan yang
diperlukan.
Cara
yang digunakan untuk mengidentifikasi subordinate
skills dengan cara memilih keterampilan bawahan yang berhubungan langsung
dengan ranah tujuan pembelajaran. Biasanya untuk mata kuliah atau mata
pelajaran tertentu keseluruhan tujuan merupakan keterampilan intelektual.
Teknik analisis keterampilan bawahannya menggunakan pendekatan hierarki, yaitu
dengan memilih apa yang harus diketahui dan dilakukan oleh anak didik, sehingga
dengan usaha pembelajaran sedikit mungkin untuk dipelajari atau dikuasai
melalui belajar.
3.
Mengidentifikasi
Tingkah Laku Masukan dan Karakteristik Mahasiswa
Mengidentifikasi
tingkah laku masukan dan karakteristik siswa sangat perlu dilakukan untuk
mengetahui kualitas perseorangan untuk dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam
mendeskripsikan strategi pengelolaan pembelajaran. Aspek-aspek yang diungkap
dalam kegiatan ini bisa berupa bakat, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan
berpikir, minat, atau kemampuan awal. Untuk mengungkap kemampuan awal mereka
dapat dilakukan dengan pemberian tes dari tingkat bawah atau tes yang berkaitan
dengan materi ajar sesuai panduan kurikulum. Adapun minat, motivasi, kemampuan
berpikir, gaya belajar, dan lain-lainnya dapat dilakukan dengan bantuan tes
baku yang telah dirancang para ahli. Misalnya tes gaya belajar bisa menggunakan
tes yang dibuat oleh Keffe, (1992), tes berpikir formal bisa menggunakan tes
menurut Piaget (1978) yang sudah pernah dilakukan di Amerika Serikat.
4.
Merumuskan
Tujuan Performansi
Menurut Dick and Carrey (1985)
menyatakan bahwa tujuan performansi terdiri atas:
(1) Tujuan
harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan, atau diperbuat oleh anak
didik;
(2) Menyebutkan
tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat, yang hadir pada
waktu anak didik berbuat;
(3) Menyebutkan
kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang
dimaksudkan pada tujuan.
Gagne,
Briggs, dan Mager menjelaskan bahwa fungsi performansi objektif adalah
(a) Menyediakan
suatu sarana dalam kaitannya dengan pembelajaran untuk mencapai tujuan;
(b) Menyediakan
suatu sarana berdasarkan suatu kondisi belajar yang sesuai;
(c) Memberikan
arah dalam mengembangkan pengukuran atau penilaian;
(d) Membantu
anak didik dalam usaha belajarnya.
5.
Mengembangkan Butir-butir Tes Acuan Patokan
Tes acuan patokan
terdiri atas soal-soal yang secara langsung mengukur istilah patokan yang
dideskripsikan dalam suatu perangkap tujuan khusus. Istilah patokan (criterion) dipergunakan karena soal-soal
tes merupakan rambu-rambu untuk menentukan kelayakan penampilan siswa dalam
tujuan, keberhasilan siswa dalam tes ini menetukan apakah siswa telah mencapai
tujuan khusus yang telah ditentukan atau belum, tes acuan patokan (criterion-refernced test) disebut juga
tes acuan tujuan (objective-referenced
test).
Bagi seorang perancang pembelajaran
harus mengembangkan butir tes acuan patokan, karena hasil tes pengukuran tersebut
berguna untuk:
(1)
Mendiagnosis dan
menempatkannya dalam kurikulum;
(2) Menceking
hasil belajar dan menemukan kesalahan pengertian, sehingga dapat diberikan
pembelajaran remedial sebelum pembelajaran dilanjutkan;
(3) Menjadi
dokumen kemajuan belajar.
Mengembangkan
butir-butir tes acuan patokan, Dick and Carrey (1985), merekomendasikan 4
(empat) macam tes acuan patokan, yaitu (1) Test
entry behaviors merupakan tes acuan patokan untuk mengukur keterampilan
sebagaimana adanya pada permulaan pembelajaran, (2) Pretes merupakan tes acuan patokan yang berguna bagi keperluan
tujuan yang telah dirancang sehingga diketahui sejauh mana pengetahuan anak
didik terhadap semua keterampilan yang berada di atas batas, yakni keterampilan
prasyarat. Maksud dari pretes ini
bukanlah untuk menentukan nilai akhir (perolehan belajar) tetapi lebih mengenal
profil anak didik berkenaan analisis pembelajaran.
Tes
sisipan merupakan tes acuan patokan yang melayani dua fungsi penting, yaitu (1)
mengetes setelah satu atau dua tujuan pembelajaran diajarkan sebelum pascates,
(2) untuk mengetes kemajuan anak didik, sehingga dapat dilakukan perbaikan (remedial) yang dibutuhkan sebelum
pascates yang lebih formal. Pascates atau proses; merupakan tes acuan patokan
yang mencakup seluruh tujuan pembelajaran yang mencerminkan tingkat perolehan
belajar sehingga dengan demikian dapat diidentifikasi bagian-bagian mana di
antara tujuan pembelajaran yang belum tercapai.
Misalnya
diterapkan pada mata kuliah perencanaan pembelajaran, maka untuk melaksanakan
tes entry behavioral dilaksanakan
bersama-sama dengan prites, mengapa? Hal ini didasarkan pada dua alternatif,
yaitu (1) kedua tes tersebut sejauh mana keterampilan yang dimiliki si pelajar
sebelum pembelajaran dimulai, sehingg bagi perancang dapat menentukan star awal
pembelajarannya; (2) jam yang tersedia menurut kurikulum sangat terbatas
mengingat jumlah sksnya hanya 3, sehingga jika dilakukan secara terpisah
dianggap merugikan jam pembelajaran.
Untuk
keperluan pascates atau post test mata
kuliah perencanaan pembelajaran yang dirancang dilakukan tiga kali pascatest,
mengapa? Hal ini disebabkan oleh (1) mata kuliah perencanaan pembelajaran
mempunyai pascates 30 soal. Sebagian besar tes tersebut adalah informasi
verbal, sehingga si pelajar (mahasiswa) harus mengingat sejumlah konsep untuk
keperluan pensintesian jawaban, dalam hal ini apabila pascates dilakukan satu
kali diperhitungkan waktu yang tersedia (100 menit) tidak cukup. Mengapa bentuk
soal yang dibuat untuk keperluan pascates berbentuk esay? Hal ini sesuai dengan mata kuliah perencanaan pembelajaran
yang telah ditentukan pada kurikulum, yaitu menganalisis, sehingga soal yang
cocok untuk keperluan menganalisis adalah soal dengan bentuk esay. Untuk mempelajari masing-masing
pokok bahasan mata kuliah Perencanaan Pembelajaran dapat dilakukan secara
terpisah tanpa tergantung pada pokok bahasan yang lain, sehingga pascates dapat
dilakukan 3 (tiga) kali, bahkan lebih baik jika dilakukan tiap satu pokok
bahasan selesai diajarkan jika waktu yang tersedia pada kurikulum memungkinkan.
6.
Mengembangkan
Strategi Pembelajaran
Dalam
strategi pembelajaran, menjelaskan komponen umum suatu perangkat material
pembelajaran dan mengembangkan materi secara prosedural haruslah berdasarkan
karakteristik siswa. Karena material pembelajaran yang dikembangkan, pada
akhirnya dimaksudkan untuk membantu siswa agar memperoleh kemudahan dalam
belajar. Untuk itu sebelum mengembangkan materi perlu dilihat kembali
karakteristik siswa. Dalam tulisan lain dianjurkan melihat pula karakteristik materi.
Dick and Carrey (1985), mengemukakan bahwa dalam merencanakan dalam satu unit
pembelajaran ada tiga tahap, yaitu (1) mengurutkan dan merumpunkan tujuan ke
dalam pembelajaran; (2) merencanakan prapembelajaran, pengetesan, dan kegiatan
tindak lanjut; (3) menyusun alokasi waktu berdasarkan strategi pembelajaran.
Mengapa harus mengurutkan dan merumpunkan ke dalam pembelajaran? Karena
strategi pembelajaran merupakan hasil nyata yang digunakan untuk mengembangkan
material pembelajaran, menilai material yang ada, merevisi material, dan
merencanakan kegiatan pembelajaran. Dengan mengurutkan tujuan ke dalam
pembelajaran dapat membuat pembelajaran dapat lebih bermakna bagi si pelajar.
Komponen strategi pembelajaran terdiri atas: (a) kegiatan prapembelajaran, (b)
penyajian informasi, (c) peran serta mahasiswa, (d) pengetesan, dan (e)
kegiatan tindak lanjut.
a.
Kegiatan
Prapembelajaran
Mengapa
harus ada kegiatan prapembelajaran? Kegiaran prapembelajaran dianggap penting
karena dapat memotivasi anak didik atau (mahasiswa) untuk mempelajari mata
kuliah perencanaan pembelajaran misalnya.
Di samping dapat memotivasi juga mereka akan mendapat petunjuk-petunjuk
yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran, sehingga pada akhir perkuliahan
si pelajar (mahasiswa) mampu menguasainya.
b.
Penyajian
Informasi
Mengapa
harus ada penyajian informasi? Karena dengan adanya penyajian informasi, anak
didik (siswa atau mahasiswa) akan tahu seberapa jauh material pembelajaran yang
harus mereka pelajari, disajikan sesuai dengan urutannya, keterlibatan mereka
dalam setiap urutan pembelajaran.
c.
Peran
Serta Mahasiswa
Mengapa peran serta si pelajar (siswa atau mahasiswa) dianggap penting?
Anak didik (siswa atau mahasiswa) harus diberi kesempatan berlatih (terlibat
dalam setiap langkah pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran, apakah itu
dalam bentuk tanya jawab atau mengerjakan soal-soal latihan untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Kertas-kertas kerja, baik perorangan maupun kelompok
setelah diberi komentar atau penilaian oleh dosen dikembalikan sebagai umpan
balik untuk mereka terhadap apa yang telah dikerjakan. Semakin terlibat si
pelajar (siswa atau mahasiswa) pada setiap kegiatan pembelajaran, diharapkan
semakin baik perolehan belajar anak didik tersebut. Demikian juga halnya dengan
ketrlibatan pembelajaran dalam hal pemberian umpan balik tugas-tugas anak didik
akan mempengaruhi terhadap perolehan belajar anak didik.
d.
Pengetesan
Untuk
keperluan pengetesan ada empat macam tes acuan patokan yang dapat digunakan,
yaitu: (1) tes tingkah laku masukan; (2) prates; (3) tes sisipan; dan (4)
pascates. Apakah perlu keempat macam tes acuan patokan tersebut diberikan?
Mengapa? Untuk pengetesan keempat macam tes acuan patokan tersebut perlu
dilakukan, karena sesuai dengan fungsinya akan memberikan umpan balik bagi
pengajar untuk memperbaiki, merevisi, baik material pembelajaran, strategi,
maupun strategi pengetesan.
e.
Kegiatan
Tindak Lanjut
Kegiatan
tindak lanjut harus dilakukan karena rancangan
pembelajaran dalam mata kuliah atau mata pelajaran tertentu dapat dikuasai
seluruhnya oleh anak didik diukur pada penguasaan pascates. Dalam hal ini jika
dibawah 80%, kepada mereka diberikan remedial dan tugas, kemudian diuji kembali
sampai dinyatakan lulus. Bagaimana dengan si pelajar yang telah dinyatakan
lulus? Bagi mereka yang sudah lulus, sementara yang lainnya belum, maka kepada
mereka akan diberikan bahan pengayaan (remedial).
Penetapan alokasi waktu dimaksudkan agar menjadi pedoman
bagi pengajar dalam pelaksanaan pembelajaran (tatap muka), sehingga tidak
menyimpang dari alokasi waktu yang telah ditetapkan. Setiap tatap muka terdiri
atas 100 menit dengan rincian waktu: (i) pembukaan + penyajian informasi = 45
menit; (ii) tanya jawab atau diskusi = 30 menit; (iii) penyimpulan hasil
diskusi oleh guru atau dosen = 25 menit. Jumlah pertemuan = 16 kali meliputi penyajian, diskusi,
pengetesan, dan remedial.
7.
Mengembangkan
dan Memilih Material Pembelajaran
Dick
and Carrey (1985) menyarankan ada tiga pola yang dapat diikuti oleh pengajar
untuk merancang atau menyampaikan pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
(1) Pengajar
merancang bahan pembelajaran individual, semua tahap pembelajaran dimasukkan ke
dalam bahan, kecuali prates dan pascates.
(2) Pengajar
memilih dan mengubah bahan yang ada agar sesuai dengan strategi pembelajaran.
Peran pengajar akan bertambah dalam menyampaikan pembelajaran. Beberapa bahan
mungkin saja disampaikan tanpa bantuan pengajar, jika tidak ada, pengajar harus
memberi penjelasan.
(3) Pengajar
tidak memakai bahan, tetapi menyampaikan semua pembelajaran menurut strategi
pembelajarannya yang telah disusunnya. Pengajar menggunakan strategi
pembelajarannya sebagai pedoman termasuk latihan dan kegiatan kelompok.
Kebaikan dari strategi ini adalah pengajar
dapat dengan segera memperbaiki dan memperbarui pembelajaran bila terjadi
perubahan isi. Adapun kerugiannya adalah sebagian besar waktu tersita untuk
menyampaikan informasi, sehingga sedikit sekali waktu untuk membantu anak
didik.
Untuk keperluan program pengembangan mata
pelajaran atau mata kuliah, misalnya mata kuliah perencanaan pembelajaran,
khususnya untuk material pembelajarannya dipilih dari beberapa buku yang sesuai
dengan keperluan pembelajaran. Mengapa hal ini dilakukan, karena kurangnya
literatur pendukung baik yang terdapat di perpustakaan maupun di pasaran yang
sesuai dengan keperluan pembelajaran mata kuliah tersebut.
8.
Mendesain
dan Melaksanakan Evaluasi Formatif
Evaluasi Formatif perlu dilakukan karena evaluasi
ini adalah salah satu langkah dalam mengembangkan desain pembelajaran yang berfungsi
untuk mengumpulkan data untuk perbaikan pembelajaran. Dengan kata lain karena
melalui evaluasi formatif akan ditemukan berbagai kekurangan yang terdapat pada
kegiatan pembelajaran, sehingga kekurangan-kekurangn tersebut dapat diperbaiki.
Menurut Dick and Carrey (1985), ada tiga fase pokok penilaian formatif, yaitu
(1) Fase perorangan atau fase klinis. Pada fase ini perancang bekerja dengan
siswa secara perseorangan untuk memperoleh data guna menyempurnakan bahan
pembelajaran. Data yang dimaksud disini biasanya kesalahan-kesalahan. (2) Fase
kelompok kecil, yaitu sekelompok siswa yang terdiri atas delapan sampai sepuluh
orang yang merupakan wakil cerminan populasi sasaran mempelajari bahan secara
mandiri, dan kemudian diuji untuk memperoleh data yang diperlukan. (3) Fase uji
lapangan. Boleh diikuti oleh banyak siswa; sering 30 orang sudah mencukupi.
Tekanan dalam uji coba lapangan ini adalah pada pengujian prosedur yang
diperlukan untuk mengetahui keefektifan perubahan yang telah dibuat, dan untuk
mengetahui masalah-masalah yang dihadapi anak didik jika menggunakan bahan
tersebut. Uji coba di lapangan perlu dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui
apakah perubahan-perubahan yang telah dibuat dari hasil penilaian perseorangan
dan penilaian kelompok kecil telah efektif jika digunakan dalam keperluan
pembelajaran.
9.
Merevisi
Bahan Pembelajaran
Merevisi
bahan pembelajaran perlu dilakukan untuk menyempurnakan bahan pembelajaran
sehingga lebih menarik, efektif bila digunakan dalam keperluan pemeblajaran,
sehingga memudahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Untuk dapat merevisi pembelajaran dilakukan sesuai data yang diperoleh dari
evaluasi formatif, yaitu penilaian perseorangan, penilaian kelompok kecil, dan
hasil akhir uji coba lapangan. Dick and Carrey (1985) mengemukakan ada dua
revisi yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) revisi terhadap isi atau substansi
bahan pembelajaran agar lebih cermat sebagai alat belajar, (2) revisi terhadap
cara-cara yang dipakai dalam menggunakan bahan pembelajaran. Untuk keperluan
bahan pembelajaran ada empat macam keterangan pokok yang menjadi sumber dalam
melakukan revisi, yaitu (1) ciri anak didik dan tingkah laku masukan; (2)
tanggapan langsung terhadap pembelajaran termasuk tes sisipan; (3) hasil
pembelajaran pascates; (4) jawaban terhadap kuesioner.
10.
Mendesain
dan Melaksanakan Evaluasi Sumatif
Evaluasi
sumatif perlu dilakukan karena melalui evaluasi sumatif dapat ditetapkan atau
diberikan nilai apakah suatu desain pembelajaran, dimana dasar keputusan
penilaian didasarkan pada keefektifan dan efisiensi dalam kegiatan belajar
mengajar. Oleh kerana itu, evaluasi sumatif diarahkan pada keberhasilan
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, yang diperlihatkan oleh unjuk kerja
siswa. Apabila semua tujuan sudah dapat dicapai, efektivitas pelaksanaan
kegiatan pembelajaran dalam mata pelajaran tertentu dianggap berhasil dengan
baik. Demikian pula jika keberhasilan siswa dicapai dalam rentangan waktu yang
relatif pendek, maka dari segi efisiensi pembelajaran dapat dicapai. Dan
terakhir, jika dengan rancangan pembelajaran ini mungkin dengan memberlakukan
strategi yang baik, aktivitas belajar siswa meningkat, maka dari segi
keberhasilan pada daya tarik pengajaran dapat dicapai.
f.
Model
PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)
Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional) adalah model yang dikembangkan di Indonesia untuk mendukung
pelaksanaan kurikulum 1975. PPSI berfungsi untuk mengefektifkan perencanaan dan
pelaksanaan program pengajaran secara sistematis, untuk dijadikan sebagai pedoman
bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
PPSI terdiri dari 5 tahap takni :
a. Merumuskan tujuan, yakni kemampuan yang harus di capai oleh siswa. Ada 4 syarat
dalam perumusan tujua ini yakni tujuan harus operasinal, artinya tujuan yang dirumuskan harus spesifik atau
dapat diukur, berbentuk hasil belajar bukan prose belajar, berbentuk perubahan
tingakah laku dan dalam setiap rumusan tujuan hanya satu bentuk tingkah laku
b. Menegmbangkan
alat evaluasi, yakni menentukan jenis test dan menyusun item soal untuk
masing-masing tujuan. Alat evaluasi disimpan pada tahap 2 setelah perumusan
tujuan untu meyakinkan ketepatan tujuan sesuai dengan criteria yang telah
ditentukan.
c. Mengembangkan
kegiatan belajar mengajar, yakni merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar
dan menyeleksi kegiatan belajar perlu ditempuh
d. Mengembangkan
progam kegiatan pembelajaran yakni merumuskan materi pelajaran, menetapkan
metode dan memilih alat dan sumber pelajaran
e. Pelaksanaan
program, yaitu kegiatan mengadakan pra test, menyampaikan materi pelajaran,
mengadakan psikotest, dan melakukan perbaikan.
Model desain
pembelajaran PPSI digambarkan pada gambar dihalaman berikut
Gambar 4.8 Model Desain Pembelajaran PPSI
a.
Model Pembelajaran Problem
Based Learning
Problem Based
Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (1980,
Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di
McMaster University Kanada pada tahun 60-an. PBM sebagai sebuah
pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBL sangat efektif untuk
sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian
dituntut untuk memecahkannya. PBL lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan
pendekatan pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter
yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya
sehingga harus mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam
pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya
diterapkan dalan pembelajaran secara umum.
a.
Karakteristik PBL
Berdasarkan teori
yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan karakteristik dari PBL,
yaitu :
1. Learning
is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBL
lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL
didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
2. Authentic
problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada
siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami
masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya
nanti.
2. New
information is acquired through self-directed learning
Dalam proses
pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua
pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui
sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
3. Learning
occurs in small groups
Agar terjadi interaksi ilmiah dan
tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBL
dilaksakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas
yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.
4. Teachers
act as facilitators
Pada pelaksanaan PBL, guru hanya
berperan sebagai fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau
perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang
hendak dicapai.
a.
Langkah-langkah
PBL
Pelaksanaan PBL
memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah pembelajarannya. Barret
(2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBL sebagai berikut :
1. Siswa diberi
permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa)
2. Siswa
melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut. ƒ
·
Mengklarifikasi kasus permasalahan yang
diberikan ƒ
·
Mendefinisikan masalah ƒ
·
Melakukan tukar pikiran berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki ƒ
·
Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk
menyelesaikan masalah ƒ
·
Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan
untuk menyelesaikan masalah
3. Siswa
melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus
diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber di
perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan observasi
4. Siswa kembali
kepada kelompok PBL semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman
sejawat, dan bekerjasaman dalam menyelesaikan masalah.
5. Siswa
menyajikan solusi yang mereka temukan
6. Siswa dibantu
oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran.
Hal ini meliputi sejauhmana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta
bagaiman peran masing-masing siswa dalam kelompok.
Sementara itu
Yongwu Miao et.al. membut model Protokol PBL yang disajikan dalam ilustrasi
berikut.
No comments:
Post a Comment